Setiap era memiliki taktik komunikasi yang berbeda, baik
lisan maupun visual, mulai dari masa Assyria dan Mesir Kuno hingga Yunani Kuno,
Romawi, era Kekhalifahan, dan masa modern. Strategi komunikasi ini terus
berkembang seiring perubahan sosial dan politik. Pada era Assyria dan Mesir
Kuno, kita dapat menemukan berbagai jejak taktik komunikasi visual, seperti
relief di dinding kuil dan hieroglif yang menggambarkan kehidupan sehari-hari
serta kebesaran para penguasa.
Berbeda dengan itu, Yunani Kuno lebih menekankan komunikasi
lisan, terutama melalui pidato. Seni berorasi berkembang pesat di sana, dengan
para filsuf dan negarawan seperti Socrates, Plato, dan Demosthenes yang
memanfaatkan kekuatan kata-kata untuk menggerakkan publik dan mencapai tujuan
politik.
Di era Romawi, seni visual tidak hanya berfungsi sebagai
penghias, tetapi juga sebagai alat propaganda yang efektif. Asa Briggs dan
Peter Burke (2000) mencatat bahwa "gambar, terutama sekali patung,
merupakan bentuk komunikasi penting, bahkan sebagai propaganda di dunia kuno,
khususnya di Roma pada masa Kaisar Augustus." Seni visual Romawi, termasuk
patung dan relief, tidak hanya memperkuat citra penguasa, tetapi juga
memengaruhi perkembangan ikonografi Gereja Perdana. Seni ini memiliki dampak
yang bertahan lama dalam membentuk simbol-simbol religius dan kebudayaan.
Secara historis,iconography didefinisikan sebagai proses
mengidentifikasi, mendeskripsikan, mengklasifikasi, dan menafsirkan
simbol-simbol dalam seni visual. Studi iconography dimulai sejak abad ke-16
dengan karya Cesare Ripa berjudul Iconologia (1593), sebuah katalog
lambang dan simbol yang dikumpulkan dari literatur klasik.
Pada masa Kekristenan awal di Kekaisaran Romawi, seni visual
memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan religius dan membangun
representasi Kristus. Seorang teolog Yunani, Basilius, pernah berkata bahwa
"para seniman melakukan kerja suci untuk agama dengan gambar-gambar mereka
sama seperti yang dilakukan para orator dengan kepiawaian berpidato."
Gambar dan patung berfungsi untuk membujuk dan menginspirasi iman umat,
menjadikan seni visual sebagai alat penting dalam menguatkan pesan keagamaan.
Dalam budaya Romawi, seni visual (lukisan dan patung)
dianggap sebagai budaya tinggi yang seringkali hanya dapat diakses oleh
kalangan bangsawan. Seperti yang dikatakan seorang rahib pada abad ke-8,
"kitab Injil itu ditulis dengan kata-kata, tetapi patung-patung itu
ditulis dengan emas" (Briggs dan Burke, 2000). Seni visual pada masa ini
selalu memiliki nilai yang terkait erat dengan kekuasaan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa propaganda modern memiliki
akar dalam Revolusi Prancis. Menurut situs National Gallery of Victoria,
"teknik-teknik propaganda modern bermula pada masa Revolusi Prancis ketika
publik secara sistematis dibanjiri oleh pers dan berbagai kelompok untuk
memanipulasi opini serta membentuk identitas nasional baru." Propaganda
ini hadir dalam bentuk yang populer dan dapat menjangkau massa, seperti surat
kabar, pamflet, ukiran, kartun, dan karikatur. Bahkan, Napoleon dikenal mahir
dalam mengelola citranya untuk memengaruhi pendapat publik, misalnya melalui
lukisan terkenal Napoleon Crossing the Alps karya Jacques-Louis David.
Pada Perang Dunia I dan II, komunikasi visual menjadi elemen
sentral dalam propaganda politik, khususnya melalui poster yang digunakan untuk
membangun semangat patriotisme dan moral masyarakat. Chambers, dalam Kaminski
(2014), menyebutkan bahwa "fungsi poster adalah untuk menginformasikan,
menginstruksikan, atau menyarankan cara-cara baru dalam memandang perang."
Saat Hitler berpidato, banyak banner besar bergambar swastika menghiasi latar
belakang untuk membangkitkan rasa patriotisme bangsa Jerman. Uni Soviet juga
menggunakan poster dengan dominasi warna merah dan desain tiga perempat yang
menciptakan kesan heroisme dan kekuatan.
Para penguasa di berbagai era menggunakan seni visual untuk membangun citra positif dan memperkuat kekuasaan mereka. Mereka tidak hanya cerdas dalam strategi militer dan politik, tetapi juga memahami kekuatan seni visual untuk memengaruhi emosi publik. Meskipun demikian, ini bertolak belakang dengan pandangan abad pertengahan, seperti yang dikemukakan oleh Emile Mâle (1862–1954), "bagi abad pertengahan, seni berfungsi untuk mendidik." Bahkan, Paus Gregorius Agung (540–604) mengatakan bahwa "gambar-gambar pada Kekaisaran Romawi diperlukan bagi orang-orang buta huruf" (Briggs dan Burke, 2000).
Briggs, Asa. Peter Burke. 2000. A Social History Of The Media. New York : Polity Press
Kaminski, Joseps Joe. 2014. World War I And Propaganda Poster Art : Comparing The United States And German Case. Journal Of Transdiciplinary Studies. 7(2). 65-81
National Gallery Of Victoria. 2012. Napoleon - Art and Design Propaganda. https://www.ngv.vic.gov.au/napoleon (diakses pada 30 Maret 2019)